Rabu, September 21, 2011

ESQ

Perlu adanya pembentukan anak yang berkarakter, sehingga diperlukan kurikulum yang mampu mengatasi masalah ini,karena anak adalah harapan kita dan bangsa. Haruskah kecerdasan secara intelligent yang selalu diuur baik dilingkungan sekolah yang bersifat formil maupun di luar lingkungan sekolah yang bersifat non formil. Fakta dilapangan menyatakan bahwa tak selamanya IQ tinggi dapat menetiukan kesuksesan seseorang dalam berkarir, tapi ada kecerdasan lain yang menentukan yaitu kcerdasan emosi atau lebih dikenal EQ, dan ada satu kecerdasan yang sangat bermain dalam keseharian seseorang yang bermain di daerah hati yaitu kecerdasan spiritual atau SQ. inilah judul skripsiku. Implikasi Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam Terhadap Pengembangan Emotional Spiritual Quotient (ESQ
BAB  I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan pada sebuah negara adalah hal yang sangat penting, karena dari sinilah sebuah negara mencetak penerus-penerus bangsa yang akan menggantikan para pendahulunya dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan keterampilan, diantaranya ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama.
Ilmu pengetahuan umum dan agama sangatlah berbeda tetapi mempunyai hubungan yang sangat erat dan dekat. Ilmu pengetahuan umum bertujuan untuk memberikan pengetahuan secara umum tanpa mengetahui hasil moral yang dimiliki mahasiswa, sedangkan ilmu pengetahuan agama bertujuan membentuk mahasiswa yang berakhlakul karimah dalam hal materinya dan juga pengaplikasiannya  dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu pengetahuan umum merupakan cabang dari ilmu agama. Pendidikan agama tidak terlepas dari psikologi, epistimologi, paedagogik, antropologi, bahasa, dan ilmu-ilmu yang lain untuk mengembangkan dirinya.
Pendidikan Agama Islam sangat berpengaruh sekali dalam diri mahasiswa,  terutama pada IQ, EQ dan SQ. Akhir abad  ke 20 dunia digemparkan dengan lahirnya konsep Intelligent Quotient (IQ), dengan penemunya Alfred Binet berasal dari Prancis, konsep ini dibawa ke Amerika untuk mengetes para calon tentara Amerika, pada awalnya dipergunakan sebagai prediktor keberhasilan akademis. Dengan semakin dikenalnya konsep IQ penggunaanya kian meluas tidak hanya sebagai prediktor keberhasilan akademis tetapi juga kesuksesan kerja. Dan selanjutnya diperkenalkan keberbagai negara diseluruh dunia, termasuk Indonesia.
Selama hampir satu abad, dunia menganggap bahwa IQ-lah penentu kesuksesan seseorang. Pada tahun 1995 Daniel Golemen menemukan konsep Emotional Quotient (EQ), bahwa seseorang yang memiliki IQ yang tinggi tanpa memiliki EQ yang tinggi pula belum tentu akan berhasil, berangkat dari IQ dan EQ yang berorientasi pada sifat kebendaan dan hanya berhubungan manusia dengan manusia atau hubungan vertikal, kemudian lahirlah konsep Spiritual Quotiont penemunya Danah Zohar dan Ian Marshal yang bersifat horizontal atau hubungan antara manusia dengan penciptaNya. Bahwa manusia memiliki God Spot (fitrah) dalam otaknya. Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan spiritual Quotiont  (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain, Spiritual Quotient merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita.
Terlepas dari IQ dan EQ. SQ versi baratpun belum menjangkau area ketuhanan pembahasannya baru sebatas tataran biologi atau psikologi semata tidak bersifat transendental, akibatnya kita masih merasakan adanya kebuntuan. Kebenaran sejati sebenarnya terletak pada suara hati yang bersumber dari spiritual center ini, yang tidak bisa ditipu oleh siapapun atau oleh apapun termasuk diri kita sendiri, mata hati ini dapat mengungkap kebenaran hakiki yang tak tampak dihadapan mata, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 46 yaitu:
óOn=sùr& (#r玍šo Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷ètƒ !$pkÍ5 ÷rr& ×b#sŒ#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5
( $pk¨XÎ*sù Ÿw yJ÷ès? ㍻|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrߐÁ9$# ÇÍÏÈ  
Artinya: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”(Q.S Al-Hajj: 46)[1]
Pendidikan di Indonesia pada umumnya lebih menekankan kecerdasan dari segi intelektualitas atau sering di sebut Intelligent Quotiont (IQ). Serta terlalu menekankan arti penting nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja. Mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke bangku kuliah, jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreatifitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi, padahal justru inilah hal yang terpenting.
Mungkin kita bisa melihat hasil dari bentukan dan kualitas sumber daya manusia era 2000 yang patut dipertanyakan, yang berbuntut pada krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal ini ditandai dan dimulai dengan krisis moral atau buta hati yang terjadi dimana-mana. Meskipun mereka memiliki pendidikan yang sangat tinggi dan gelar didepan atau dibelakang namanya, mereka hanya mengandalkan logika, namun mengabaikan suara hati yang sebenarnya mampu memberikan informasi-informasi maha penting untuk mencapai keberhasilan. Kemudian terbukti akhirnya sang suara hati itu benar, sehingga banyak di antara mereka yang kini terperosok, dulunya adalah orang-orang yang telah mengabaikan suara hati yang menjadi dasar sebuah kecerdasan emosi.
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas bahwa adanya kerancuan antara IQ yang tidak dapat menjadi patokan seseorang itu berhasil, karena EQ dapat mempengaruhi keberhasilan seseorang, kemudian SQ yang hanya membahas bahwa adanya God spot dalam tubuh manusia tanpa di imbangi dengan makna ketuhanan dan keagamaan yang sesungguhnya. Lahirlah  sebuah pemikiran yang sangat fenomena dari seorang Ary Ginanjar Sabastian yaitu penggabungan antara kecerdasan emosional dengan kecerdasan spiritual atau lebih dikenal dengan istilah ESQ (Emotional Spiritual Quotient), penggabungan ini dapat diharapkan menjadi andalan dalam menemukan pengetahuan yang benar dan hakiki, dapat dilihat melalui bagan perbedaan yang sangat signifikan antara EQ yang hanya membahas hubungan antar manusia, dan SQ yang membahas hubungan manusia dengan Tuhannya, sedangkan ESQ lebih kompleks yaitu membahas hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhannya.
1.      Emotional Quotiont
Manusia                                     Manusia
2.      Spiritual Quotiont
Tuhan
 


Manusia
3.      ESQ
Tuhan



                           Manusia                           Manusia
Gambar 1
Bagan perbedaan antara IQ, SQ dan ESQ[2]
Menurut teori ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang besifat fitrah menuju manusia yang seutuhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik), serta berprinsip “hanya karena Allah”.[3]
Adanya keterkaitan antara pendidikan Agama Islam dengan ESQ, karena pendidikan Agama Islam memberikan gambaran-gambaran tentang hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan penciptaNYA sesuai dengan konsep yang ada pada ESQ.
Sekolah Tinggi Agama Islam Haji Agus Salim adalah salah satu sekolah yang berlandaskan Agama Islam sebagai salah satu acuan terlaksananya sebuah kegiatan perkuliahan.
Dari permasalahan-permasalahan diatas lahirlah rasa keingintahuan peneliti tentang seberapa besarkah pengaruh mata kuliah Pendidikan Agama Islam dalam proses perkuliahan dalam mengembangkan kecerdasan emosi dan spiritual menjadi lebih baik . Kemudian munculah judul Implikasi Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam Terhadap Pengembangan Emotional Spiritual Quotient (Studi Kasus pada Mahasiswa Semester VIII Sekolah Tinggi Agama Islam Haji Agus Salim).


[1] Depag RI, Mushaf Al-Quran Terjamah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara 2002)
[2] Ary Ginanjar Agustian. Rahasia Kesuksesan Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual.
(Jakarta 2001) hal x1
[3] Ibid. hal 57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar