Perlu adanya pembentukan anak yang berkarakter, sehingga diperlukan kurikulum yang mampu mengatasi masalah ini,karena anak adalah harapan kita dan bangsa. Haruskah kecerdasan secara intelligent yang selalu diuur baik dilingkungan sekolah yang bersifat formil maupun di luar lingkungan sekolah yang bersifat non formil. Fakta dilapangan menyatakan bahwa tak selamanya IQ tinggi dapat menetiukan kesuksesan seseorang dalam berkarir, tapi ada kecerdasan lain yang menentukan yaitu kcerdasan emosi atau lebih dikenal EQ, dan ada satu kecerdasan yang sangat bermain dalam keseharian seseorang yang bermain di daerah hati yaitu kecerdasan spiritual atau SQ. inilah judul skripsiku. Implikasi Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam Terhadap Pengembangan Emotional Spiritual Quotient (ESQ
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
pada sebuah negara adalah hal yang sangat penting, karena dari sinilah sebuah
negara mencetak penerus-penerus bangsa yang akan menggantikan para pendahulunya
dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan keterampilan, diantaranya ilmu
pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama.
Ilmu
pengetahuan umum dan agama sangatlah berbeda tetapi mempunyai hubungan yang
sangat erat dan dekat. Ilmu pengetahuan umum bertujuan untuk memberikan
pengetahuan secara umum tanpa mengetahui hasil moral yang dimiliki mahasiswa,
sedangkan ilmu pengetahuan agama bertujuan membentuk mahasiswa yang berakhlakul
karimah dalam hal materinya dan juga pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu pengetahuan
umum merupakan cabang dari ilmu agama. Pendidikan agama tidak terlepas dari
psikologi, epistimologi, paedagogik, antropologi, bahasa, dan ilmu-ilmu yang
lain untuk mengembangkan dirinya.
Pendidikan
Agama Islam sangat berpengaruh sekali dalam diri mahasiswa, terutama pada IQ, EQ dan SQ. Akhir abad ke 20 dunia digemparkan dengan lahirnya konsep
Intelligent Quotient (IQ), dengan penemunya
Alfred Binet berasal dari Prancis, konsep ini dibawa ke Amerika untuk mengetes
para calon tentara Amerika, pada awalnya dipergunakan sebagai prediktor
keberhasilan akademis. Dengan semakin dikenalnya konsep IQ penggunaanya kian
meluas tidak hanya sebagai prediktor keberhasilan akademis tetapi juga
kesuksesan kerja. Dan selanjutnya diperkenalkan keberbagai negara diseluruh
dunia, termasuk Indonesia.
Selama
hampir satu abad, dunia menganggap bahwa IQ-lah penentu kesuksesan seseorang. Pada
tahun 1995 Daniel Golemen menemukan konsep Emotional
Quotient (EQ), bahwa seseorang yang memiliki IQ yang tinggi tanpa memiliki
EQ yang tinggi pula belum tentu akan berhasil, berangkat dari IQ dan EQ yang
berorientasi pada sifat kebendaan dan hanya berhubungan manusia dengan manusia
atau hubungan vertikal, kemudian lahirlah konsep Spiritual Quotiont penemunya Danah Zohar dan Ian Marshal yang
bersifat horizontal atau hubungan antara manusia dengan penciptaNya. Bahwa
manusia memiliki God Spot (fitrah) dalam
otaknya. Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan spiritual Quotiont (SQ) adalah
kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita
dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa
tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang
lain, Spiritual Quotient merupakan
landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan SQ
merupakan kecerdasan tertinggi kita.
Terlepas dari IQ
dan EQ. SQ versi baratpun belum menjangkau area ketuhanan pembahasannya baru
sebatas tataran biologi atau psikologi semata tidak bersifat transendental, akibatnya kita masih
merasakan adanya kebuntuan. Kebenaran sejati sebenarnya terletak pada suara
hati yang bersumber dari spiritual center
ini, yang tidak bisa ditipu oleh siapapun atau oleh apapun termasuk diri kita
sendiri, mata hati ini dapat mengungkap kebenaran hakiki yang tak tampak
dihadapan mata, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 46 yaitu:
óOn=sùr& (#rçÅ¡o Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷èt !$pkÍ5 ÷rr& ×b#s#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5
( $pk¨XÎ*sù w yJ÷ès? ã»|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrßÁ9$# ÇÍÏÈ
Artinya:
“Maka apakah mereka tidak berjalan di
muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena
Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di
dalam dada.”(Q.S Al-Hajj: 46)[1]
Pendidikan
di Indonesia pada umumnya lebih menekankan kecerdasan dari segi intelektualitas
atau sering di sebut Intelligent Quotiont
(IQ). Serta terlalu menekankan arti
penting nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja. Mulai dari tingkat
sekolah dasar sampai ke bangku kuliah, jarang sekali ditemukan pendidikan
tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang integritas, kejujuran,
komitmen, visi, kreatifitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip
kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi, padahal justru inilah hal yang
terpenting.
Mungkin
kita bisa melihat hasil dari bentukan dan kualitas sumber daya manusia era 2000
yang patut dipertanyakan, yang berbuntut pada krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Hal ini ditandai dan dimulai dengan krisis moral atau buta hati
yang terjadi dimana-mana. Meskipun mereka memiliki pendidikan yang sangat
tinggi dan gelar didepan atau dibelakang namanya, mereka hanya mengandalkan
logika, namun mengabaikan suara hati yang sebenarnya mampu memberikan
informasi-informasi maha penting untuk mencapai keberhasilan. Kemudian terbukti
akhirnya sang suara hati itu benar, sehingga banyak di antara mereka yang kini
terperosok, dulunya adalah orang-orang yang telah mengabaikan suara hati yang
menjadi dasar sebuah kecerdasan emosi.
Berangkat
dari permasalahan-permasalahan di atas bahwa adanya kerancuan antara IQ yang
tidak dapat menjadi patokan seseorang itu berhasil, karena EQ dapat
mempengaruhi keberhasilan seseorang, kemudian SQ yang hanya membahas bahwa
adanya God spot dalam tubuh manusia
tanpa di imbangi dengan makna ketuhanan dan keagamaan yang sesungguhnya.
Lahirlah sebuah pemikiran yang sangat
fenomena dari seorang Ary Ginanjar Sabastian yaitu penggabungan antara
kecerdasan emosional dengan kecerdasan spiritual atau lebih dikenal dengan
istilah ESQ (Emotional Spiritual Quotient),
penggabungan ini dapat diharapkan menjadi andalan dalam menemukan pengetahuan
yang benar dan hakiki, dapat dilihat melalui bagan perbedaan yang sangat
signifikan antara EQ yang hanya membahas hubungan antar manusia, dan SQ yang
membahas hubungan manusia dengan Tuhannya, sedangkan ESQ lebih kompleks yaitu
membahas hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhannya.
1. Emotional
Quotiont
Manusia Manusia
2. Spiritual
Quotiont
Tuhan
Manusia
3. ESQ
Manusia Manusia
Gambar
1
Bagan
perbedaan antara IQ, SQ dan ESQ[2]
Menurut
teori ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah
terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran
yang besifat fitrah menuju manusia yang seutuhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik), serta berprinsip “hanya karena Allah”.[3]
Adanya
keterkaitan antara pendidikan Agama Islam dengan ESQ, karena pendidikan Agama
Islam memberikan gambaran-gambaran tentang hubungan manusia dengan manusia dan
hubungan manusia dengan penciptaNYA sesuai dengan konsep yang ada pada ESQ.
Sekolah
Tinggi Agama Islam Haji Agus Salim adalah salah satu sekolah yang berlandaskan
Agama Islam sebagai salah satu acuan terlaksananya sebuah kegiatan perkuliahan.
Dari permasalahan-permasalahan diatas lahirlah rasa
keingintahuan peneliti tentang seberapa besarkah pengaruh mata kuliah Pendidikan
Agama Islam dalam proses perkuliahan dalam mengembangkan kecerdasan emosi dan
spiritual menjadi lebih baik . Kemudian munculah judul Implikasi Mata Kuliah
Pendidikan Agama Islam Terhadap Pengembangan Emotional Spiritual Quotient
(Studi Kasus pada Mahasiswa Semester VIII Sekolah Tinggi Agama Islam Haji Agus
Salim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar